Rabu, 20 Januari 2021

Hutan Punti Kayu di Era 1970an

Pada mulanya, saya mendapat kiriman email dari pencinta hutan Indonesia yang bercerita tentang pengalaman mereka saat masuk rimba. Semua yang dikisahkan itu sangat menarik sehingga saya pikir alangkah baiknya jika pengalaman masuk rimba Indonesia dapat dibaca oleh berbagai kalangan terutama anak dan remaja baik di desa maupun perkotaan. Tujuannya tentu saja agar kita semua memiliki kepedulian akan pelestarian hutan Indonesia termasuk ekosistim yang terkait dengannya.

Email via Change.org yang saya terima isinya begini :

“Hadijaya, terus terang ya, waktu aku diajak masuk hutan Maret kemarin, aku takut! Bisa dibilang aku anak kota seutuhnya. Lahir, besar di Surabaya, berkarir di Jakarta. Tapi apapun rasa takut yang ada, menghilang saat aku dan suamiku Arlan, berada di dalam hutan. Perjalanan ke Sungai Buluh, Sumatera Barat yang panjang, sulit, dan melelahkan, akhirnya terbayar. Kesegaran udara yang kuhirup, Kejernihan air sungai yang mengalir, dan juga keramahan masyarakat sekitar hutan. Aku betul-betul terpesona! Pengalaman habiskan beberapa hari di hutan membuka mataku betapa pentingnya hutan untuk kita….dst”. Pada respon tanggal 21 April 2017 tersebut Astrid Sartiasari minta kesediaan saya mengisi sebuah angket survey mengenai hutan dan pelestariannya. Kalau kamu belum ikutan surveinya, Hadijaya bisa isi di sini : change.org/10menituntukhutan.

 

Saya memutar kembali memori masa lalu saat ikut kerja bakti membangun irigasi sepanjang 400 meter yang melintas di perkebunan salak Desa Turi Sleman Jateng, ketika itu Menwa bersama TNI bergabung dalam kegiatan AMD Manunggal III (1980). Irigasi ini sangat penting untuk mengairi areal hutan yang merupakan lahan perkebunan rakyat.

Pernah pula kerja bakti menanam bakau di pantai Probolinggo Jatim (1981) yang merupakan bagian acara dari  Latihan Peningkatan Mutu Kepemimpinan Menwa (LATPENMUPIN- MENWA). Hutan bakau ternyata penting untuk menahan erosi air laut serta memberi ruang bagi perkembang-biakan biota laut seperti udang, ikan dan sebagainya.

 

Kemudian Glenn berkata pula : “Perjalanan ke hutan itu akhirnya aku tuangkan dalam lagu bersama Astrid, Alam Urbach, dan Achi Hardjakusumah, kami buat MUSIKA FORESTA. Sebuah acara musik sekaligus aksi nyata lindungi hutan. Acaranya di Balai Sarbini, Sabtu 13 Mei 2017, jam 19.30. Hadijaya beli tiketnya dengan harga mulai 100 ribu. Semua hasil penjualan tiket akan digunakan untuk adopsi pohon di hutan. Jadi, semoga kita ketemu di sana ya! Sampai jumpa, salam hutan”.

Email dia saya balas : “terimakasih, saya jadi terharu karena masa kecilku dulu pernah bertualang masuk hutan dengan teman-teman di Hutan Talang Kelapo Palembang”.

 

Jika Astrid punya pengalaman masuk hutan ketika sudah dewasa, saya bahkan mau cerita pengalaman masuk hutan ketika masih kelas 3 SD, begini ceritanya :

 

Saat libur sekolah, anak-anak kampung selalu bikin acara, entah main layangan, main klereng (ekar), adu biji karet, pantak-lele, main sludur di lapangan badminton, mancing dan sebagainya. Namun kali itu tak seperti biasa, teman-teman yang usianya relatif jauh lebih tua antara lain : Krisna, Wiwit, Kikit, Totok, mengajak saya, Gatot, Encap dan beberapa teman lain dalam suatu petualangan mencari tau lingkungan diluar kampung Sukabangun Palembang (Km 6), yaitu masuk hutan Talang Kelapo.

 

Kami  sepakat berangkat berjalan kaki dari Sukabangun  mulai jam 7 pagi menuju Hutan Talang Kelapo (Km 9), suatu perjalanan yang cukup jauh dan beresiko untuk ukuran anak usia kelas 3-6 SD. Lepas dari kontrol orang tua dan berhadapan dengan alam rimba Talang Kelapo yang kala itu masih banyak babi hutan, bermacam ular (sanca, cobra dll).

Sesampai di areal Talang Kelapo, kami belok kiri menapaki jalan tikus terus menuju arah barat. Jalan kecil itu rupanya membelah kebun luas tak terawat dan penuh semak belukar yang merupakan bagian tepi hutan berbatasan dengan jalan raya. Tanaman tumbuh tak tertata baik, ada pepohonan karet, rambutan hutan, manggis dan yang paling banyak adalah pepohonan cempedak dengan diameter batang seukuran derum. Suara riang-riang mendenging merdu seolah menyambut gembira kehadiran kami, petualang cilik.

Tidak diketahui secara pasti apakah hutan itu milik Ulayat Marga Talang Kelapo ataukah milik perorangan. Setelah dua jam menyusuri hutan, hidungku dan juga teman teman mulai tergoda bau aroma cempedak yang jatuh dari pohon karena sudah matang dan mengundang selera untuk segera disantap.

Sambil uluk salam kami meminta kerelaan  kepada "mbau rekso" (mahluk ghoib) disitu dengan maksud agar menyantap cempedaknya tidak ragu-ragu dan tidak takut kuwalat : ... "wak ! kami minta cempedaknya ya wak !", kata seorang teman yang paling dewasa memecah keheningan hutan. Lalu teman yang lain spontan menyahut : "silahkan nak.... silahkan diambil yang banyak !" Kami semua lalu tertawa terbahak-bahak sambil membelah itu buah cempedak yang besarnya seperti nangka.

Satu buah cempedak jadi rebutan sebelas anak, semua kebagian walau belum mengenyangkan. Kami malah jadi ketagihan dan terus menyeruak masuk hutan lebih dalam lagi untuk mencari cempedak atau buah manggis yang  jatuh dari pohon. Hingga akhirnya kami semua merasa kenyang bahkan  mulai merasakan mabuk cempedak.

Kami terus berjalan dan tanpa sadar sudah menerobos hutan Talang Kelapo itu cukup jauh hingga sampai dipadang ilalang yang tanpa pepohonan. Tak lama kemudian kami berjumpa dengan 3 orang bapak-bapak pemburu hewan lengkap dengan bedil masing-masing, mereka berpenampilan mirip cowboy . Mereka berdiri ditepi sebuah sungai kecil, agaknya sedang menanti saat yang tepat untuk menyergap hewan buruan. Raut wajah mereka terlihat cukup tegang. Mereka agak terkesiap saat melihat kehadiran kami 11 orang yang secara tiba-tiba.

Kehadiran kami disitu tentu saja tidak disukai karena mengganggu aktifitas perburuan mereka. Seseorang dari mereka yang berkumis tebal dan wajahnya agak beringas, menghardik kami : "ngapo kamu maen kesini heh !!... disini banyak babi hutan, banyak ulo sawo, ado harimau .... ayo balek !!!" sergahnya sambil mengokang bedil.

 

Melihat gelagat yang kurang bersahabat itu kami buru-buru berbalik arah dan berniat pulang kerumah. Matahari sudah condong kearah barat, kira-kira saat itu sudah jam 2 siang. Kami mulai kembali balik arah melewati jalan-jalan tikus yang semula kami lalui.

Namun tiba-tiba terjadi kegelisahan dan stress berat karena kami baru saja kehilangan arah balik, ... kami nyasar dan saat itu rasanya ingin sekali menangis. Untung teman-teman yang usianya relatif lebih dewasa berlagak tenang menghadapi situasi yang mulai gelap karena cahaya matahari tertutup pohon-pohon besar.

Kemudian kami sepakat untuk secara bersama melakukan shalat sunnat isticharoh 2 rakaat memohon diberi Allah petunjuk arah jalan pulang. Selesai shalat, kami masing-masing berdo'a, pikiran kembali jernih dan kami segera berkemas-kemas untuk melanjutkan perjalanan.

 

Alhamdulillah.... berkat petunjuk Allah Swt, tiba-tiba seorang teman berteriak kegirangan sambil berkata : "hei... jingok tuh ! itu khan kulit-kulit cempedak bekas kito makan tadi, berarti kito ni tadi lewat situ !" katanya sambil menunjuk arah timur. Kami mulai agak sedikit lega dan terus melangkah sehingga berhasil keluar dari hutan rimba Talang Kelapo. Kami akhirnya sampai dirumah masing-masing Desa Sukabangun  menjelang maghrib, dalam keadaan selamat semuanya... alhamdulillah ! Demikian secuplik pengalamanku bersama teman-teman sepermainan masuk hutan Talang Kelapo.

Masih tersimpan dalam ingatan saya bahwa pada tahun 1960-an mulai dari batas kota Palembang (Km.5 = Pasar Palimo) sampai lapangan terbang Talang Betutu (jalan Kolonel H. Berlian) terdapat Hutan Pinus  (Taman Saelendra), Talang Kelapo, Talang Betutu, Talang Buruk dan Alang-alang Lebar. 4 kampung ditepi hutan yang kala itu masih sepi penghuni masuk dalam wilayah Kabupaten Muba (Musi Banyuasin) yang berbatasan dengan wilayah kota Palembang.

Di Talang Betutu ketika itu terdapat lapangan terbang yaitu Lanuma Talang Betutu, kini namanya menjadi Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.

Sebagian wilayah hutan yang luas dan penuh pepohonan serta semak belukar itu secara lambat laun makin mengecil dan menyempit karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Untunglah pemerintah kota madya Palembang masih dapat mempertahankan sebagian hutan Taman Saelendra dan sebagian hutan Talang Kelapo menjadi paru-paru kota yaitu dengan dibangunnya Taman Punti Kayu.

 


Punti Kayu artinya pepaya atau kates, berasal dari bahasa daerah Komering Ulu. Sebuah nama yang agak sedikit nyeleneh, kenapa hutan yang banyak ditumbuhi pinus, karet, cempedak serta pepohonan kayu tembesu itu malah mengambil nama punti kayu ?, tentu ada asal-muasalnya.

 

Di tepi hutan Taman Saelendra Km 8 pada era 60-an berdiri pos pemeliharaan hutan. Nampaknya ketika itu mulai dibudidayakan tanaman pepaya (punti kayu). Tanah sekitar hutan Saelendra yang penuh dengan humus itu sangat baik untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman yang dapat dikonsumsi masyarakat terutama untuk mensuplay kebutuhan Pasar Palimo. Sebelumnya pepaya, buah-buahan dan sayur-mayur  disuplay oleh orang-orang Nobon (Cino Kebon) yang bermukim di Soak Bato berbatasan dengan Kenten Laut yang jaraknya relatif jauh dengan Pasar Palimo. Kendaraan pengangkut hasil pertanian ketika itu adalah gerobak sapi atau pedati yang berjalan sangat lamban terutama jika melalui daerah tanjakan Pal 7. Sekalipun sudah ada mobil oplet namun oplet lebih mengutamakan mengangkut orang bukan sayur mayur. Sebuah pilihan yang cukup baik dan relatif dekat Pasar Palimo jika sayur mayur ditanam dihutan Saelendra saja. Tanaman yang paling banyak ditanam memang punti kayu (papaya), namun ada pula cabe, kacang panjang, ubi dan sebagainya. Areal bekas kebun pepaya ditepi hutan itu kini telah disulap menjadi bagian depan atau pintu masuk kawasan wisata yang diberi nama Taman Punti Kayu.

Semoga sekelumit cerita ini dapat membangkitkan gairah bertualang dalam rimba khususnya bagi mereka yang menjadi sahabat hutan Indonesia.

Salam untuk semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar